Cerita Dewasa Terbaru 2013 Pernikahan Putriku Tercinta
Ketika
aku mendekati pintu, suara-suara yang gugup semakin terdengar lebih
jelas. Mantan istriku, Wati, yang kuceraikan delapan tahun yang lalu
sedang memberikan perintah-perintahnya pada seseorang. Aku mendengar
suara tawa yang renyah dari putri bungsuku, Erna yang berusia sembilan
belas tahun, dan protes dari kakaknya, Endang, sang pengantin wanita.
Dalam usianya yang ke-dua puluh satu tahun, muda dan keras kepala, saat menceritakan padaku kalau dia akan menikah, aku terdiam merasa kecewa dan terguncang, tapi aku menyembunyikannya dengan mendoakannya keberuntungan yang terbaik dan sebuah kehidupan yang selalu bahagia. Suara yang lain tidak aku kenal dan kutebak kalau itu adalah suara para pengiring pengantin, gugup dalam kebahagiaan mereka untuk yang lain, barangkali menantikan hari mereka sendiri.
Kurapikan
dasi kupu-kupuku dengan bercermin di gang, aku melihat bayangan diriku
dalam cermin, mengerutkan dahi merasa tak nyaman memakai pakaian resmi
yang membatasi ini. Kuperhatikan diriku, rambutku masih terlihat hitam
dan bersyukur karena kulihat bahwa sama sekali belum ada uban di usia
empat puluh satu tahun ini. Wajahku terlihat keras karena tahun-tahun
travellingku dan sering keluar masuk di lingkungan yang keras yang
notabene penuh asap dan alkohol. Dan ketika aku mempelajari mata lelaki
dalam cermin ini, aku mendapatkan gambaran akan kehidupan yang
menghantarku hingga di sini. Aku jumpa Wati istriku saat kami berdua
masih terlalu muda untuk membedakan mana yang baik, dan dia meyakinkanku
si pemain gitar ini bahwa kami berdua akan bisa menaklukkan kerasnya
dunia.
Dia
adalah lulusan sebuah perguruan tinggi dengan pekerjaan tetap dan aku
adalah seorang lelaki yang pergi bertualang dari kota satu ke kota
lainnya berkeliling negeri ini. Anak-anak gadis kami lahir di awal
perkawinan, yang membuat kami masih bertahan bersama sekitar lima tahun
lamanya hingga akhirnya kami berdua menyadari bahwa hubungan ini sudah
tak dapat dipertahankan lagi. Dia bertemu dengan seorang pria lain yang
mempunyai sebuah kehidupan yang stabil, yang menurutnya akan lebih baik
untuk kehidupan kedua putri kami.
Perceraian
datang dan terjadi seperti perkiraan kami dan aku masih menetap di
dekat mereka selama beberapa tahun sampai memperoleh sebuah lompatan
besar sebagai pemusik studio di ibu kota. Sejak saat itu, aku mencoba
yang terbaik agar tetap bisa berhubungan melalui telepon, lewat kiriman
foto, dan tour keliling yang sekali-kali singgah di dekat situ. Dan saat
aku menatap dalam kaca, aku melihat sebuah penyesalan yang terpancar ke
luar.
“Ayah, apa yang Ayah lakukan?”
Aku
kembali pada kesadaranku oleh suara putriku, Erna. Dia terlihat cantik
bahkan di saat memakai baju pengiring pengantinnya yang menggelikan itu.
Kulitnya yang kuning langsat dan rambutnya yang hitam pekat terlihat
kontras dibandingkan dengan warna metalik dari pakaian itu. Dia
tersenyum dalam kecantikannya yang lugu dan menatapku dengan bingung.
“Hanya mengenang masa lalu,” kataku.
“Saat
seperti ini membuat kamu berpikir kalau kamu telah membuat keputusan
yang salah. Bagaimana itu mempengaruhi hidup orang lain.” Dia
menghiburku dengan pelukan dan mengusap bahu dan punggung lenganku.
“Ayah lakukan apa yang harus Ayah lakukan,” dia berkata.
“Aku
tidak memusuhi Ayah. Aku akan melakukan hal yang sama bila berada dalam
posisi tersebut. Aku akan lebih memilih pengalaman hidup dari pada
mengambil keputusan seperti yang diambil Ibu.”
Pijatannya
yang lembut menenangkan keteganganku, dan saat aku telah menjadi lebih
santai aku sadari betapa aku menikmati dadanya yang menekan tubuhku.
Dengan tinggiku yang sekitar dua belas centimeter lebih tinggi daripada
Erna, aku menggerakkan tanganku dari punggungnya yang kecil naik ke
bahunya yang telanjang dan menekannya agar merapat padaku. Dia membalas
memelukku erat dan tersenyum dengan tidak berdosa. Kutundukkan kepalaku,
dan memberinya sebuah ciuman ringan di atas dahinya, tetapi dia malah
berjinjit pada jari kakinya dan dengan cepat menemukan bibirku.
“O-o..,
sebaiknya Ibu tidak melihat. Dia mungkin akan cemburu. Atau Endang,
mungkin.” dia tertawa genit. Aku tersenyum pada kelakarnya dan ketika
dia berjalan sepanjang aula, aku tidak bisa mempercayai reaksinya pada
perlakuanku yang dengan pelan memukul pantatnya.
“Mungkin nanti, Ayah bisa mencobanya saat aku tidak memakai pakaian gembung ini.”
Gaunnya
turun hingga ke bawah lututnya dan itu terlihat indah, kaki-kaki itu
laksana sebuah magnet yang membuat mataku lengket selalu menatapnya saat
menggerakkan keindahan ini, saat wanita muda itu melenggang pergi. Aku
membayangkan pantat yang manis dan kencang yang dia miliki. Aku juga
membayangkan seperti apa rasanya pantat itu di dalam tanganku ketika dia
menungganginya naik turun pada penisku, meneriakkan dengan histeris,
“Setubuhi aku, Ayah. Setubuhi putri kecilmu. Masukkan penismu dalam
vagina panas putrimu.” Saat kepergok sedang memandangi dan
mengkhayalkannya, aku melihat ke arah putriku yang menengok ke belakang.
Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya saat dia berbelok di ujung
gang itu.
Kembali
ke kenyataan, aku akan mengetuk pada pintu di mana pengantin wanita
sedang bersiap-siap ketika mantan istriku Wati membuka pintu itu dan
keluar.
“Rudi, kita harus bicara.” dia berkata dalam sebuah nada yang memperingatkan. Aku bergeser dari pintu untuk memberinya ruang.
“Endang
ingin agar Anton yang berjalan di sepanjang karpet itu. Sekarang, kamu
benar-benar tidak punya alasan untuk mengganggunya.”
“Aku
tidak peduli,” aku menjawab deklarasinya. Aku merasa terluka, tapi rasa
bersalahku akan kehidupanku berkata bahwa ini adalah konsekwensi dari
keputusan hidupku yang lain.
“Aku harap aku bisa bicara dengannya sebelum upacara,” kulirik arlojiku. Masih ada waktu satu jam.
“Aku ingin meluruskan beberapa hal. Ingin mendoakan keberuntungannya. Hal-hal seperti itulah.”
“Itu bukan ide yang baik,” kata Wati.
“Dia
sedang bingung dengan siapa dia akan berjalan di karpet itu nanti. Dia
terlalu emosional dan gelisah sekarang. Aku bilang padanya bahwa dia
sudah membuat keputusan yang benar dan kamu akan memahami itu.”
Aku
tidak ingin membuat masalah, dan aku bisa lihat aku tidak akan berusaha
melewati sang penjaga pintu, maka kuanggukkan kepalaku dan berbalik.
Aku berjalan ke dalam ruangan di mana sang pendeta sedang bersiap-siap
dan berbicara dengannya untuk beberapa menit sebelum dia pergi untuk
meyakinkan para pelayan altar agar tahu apa yang harus mereka lakukan.
Dia berkata bahwa aku boleh tetap berada di sini jika aku ingin, kuambil
tawarannya dan duduk pada sofa kulitnya menghadap jendela dan melihat
orang-orang yang memakai setelan jas resmi dan gaun pesta ke dalam
gereja. Pintu terbuka dan menutup di belakangku. Mengira kalau yang
masuk adalah sang pendeta, aku berdiri dan bertanya..
“Apa pekerjaan mereka beres?”
“Beres?” tanya Erna.
“Ah. Aku pikir kamu si pendeta.” dia tertawa.
Erna
menggantikan tempatku di sofa ketika aku berjalan di sekitar jendela
dengan membayangkan hubungan seks sedarah kami. Kakinya bertumpu pada
meja kopi di depan sofa menekuk lututnya saat dia mengayunkannya maju
mundur, membuka dan menutup. Gaunnya yang mulai tersingkap ke atas
pahanya yang memperlihatkan lebih banyak bagian dari paha dalamnya.
Gaunnya tersingkap hingga di atas lututnya, suaranya menggesek maju
mundur menyelimuti detak jantungku yang terus meningkat. Aku berjalan
semakin dekat untuk senyuman lezat yang ingin kucicipi itu tetapi sadar
kalau aku tidak bisa melakukannya.
Putriku
yang berumur sembilan belas tahun itu sedang menggodaku. Aku sering
melihat ‘groupies’ untuk mengetahui tentang apa arti dari godaan, tetapi
groupies lebih blak-blakan. Semua orang tahu apa yang mereka inginkan.
Ada sesuatu yang disembunyikan di sini, kami berdua tahu apa yang akan
terjadi. Aku yakin kami berdua bukanlah orang ’suci’. Tapi godaan ini
tak akan berakibat apa pun. Tidak ada apa pun yang bisa. Itu salah. Kami
tidak bisa membiarkan sesuatu itu terjadi. Sesuatu yang bersifat
seksual.
Dia
membuka kakinya lebih lebar, seperti sebuah undangan agar datang
menikmatinya. Gaunnya bergerak lebih tinggi dan aku menangkap sebuah
pandangan sekilas dari sabuk stocking yang membungkus di sekitar paha
indahnya. Erna menurunkan kakinya ke lantai dan aku takut kalau aku akan
menerkamnya, aku telah berbuat keterlaluan dengan nafsu pada keindahan
pahanya. Paha yang aku inginkan untuk melingkari tubuhku, yang
kutelusuri dengan tanganku. Tetapi dia masih tersenyum saat aku
memandangnya, memainkan pikiranku. Dia ingin agar aku duduk pada meja di
depannya dan aku melakukannya, tidak ingin mengecewakan wanita muda
ini.
“Tetaplah di sini,” dia berkata.
Aku
mematuhi dan menutup wajahku dengan tangan, berusaha meredakan
pikiranku yang penuh gairah. Aku ingin kehangatan dari seorang wanita,
dan aku ingin merasakan kehangatan itu pada penisku. Aku ingin dadanya
di tanganku, pahanya bergesekan dengan milikku. Aku menginginkan
perhatian dan cintanya. Itu salah, atau kira-kira itulah yang mereka
katakan, untuk bernafsu pada wanita yang aku inginkan. Tetapi melihatnya
mengayunkan paha, menggesekkan ke depan dan ke belakang, membayangkan
itu adalah vaginanya yang menggesek, menelan penisku, merintih dengan
penuh gairah ketika aku memompa keluar masuk tubuhnya, aku telah sampai
di garis tepi itu.
Tanganku
menutupi wajahku, pikiranku menjadi liar. Aku mendengar suara pintu di
seberang ruangan ditutup di belakangku yang diikuti oleh suara mengunci
pintu itu. Sepertinya ada dua orang di sana. Aku mengintip dari tanganku
dan melihat seorang pengantin wanita yang paling cantik dalam hidupku.
Tingginya yang sama dengan adiknya, dia mempunyai sebuah wajah yang sama
cantiknya dan bentuk tubuh sempurna yang tak berbeda. Jika rambutnya
tidak lebih panjang, pasti akan sulit untuk membedakan mereka. Aku
berdiri, penisku masih keras tapi tersembunyi oleh pakaian resmi yang
kupakai. Malu dengan pemikiranku akan Erna, aku mendekati Endang yang
mengenakan gaun pengantin anggun, menggairahkan.
“Sayang, kamu cantik sekali,” kataku.
Paha
Endang yang terlihat menyembul dari balik gaun putihnya hampir
membuatku meledak di dalam celana dalamku. Jasku sedang dibuka oleh
seseorang di belakangku. Aku menoleh dan menemukan Erna. Keinginan yang
penuh gairah kembali lagi. Endang tersenyum pada Erna dan melihat mata
Endang, aku tahu putri bungsuku pasti tersenyum juga. Aku mulai untuk
mencoba katakan sesuatu, tapi Endang memotong..
“Ayah,” dia berkata.
“Ayah yang manis, lembut..”, katanya lagi.
Dia
bergerak semakin dekat kepadaku seiring kurasa tangan Erna mengelus
lenganku kemudian menyeberang ke dadaku. Aku pikir aku sedang bermimpi
dan aku ingin terbangun agar aku bisa segera melakukan masturbasi dan
mengeluarkan bayangan ini dari pikiranku. Tapi ini bukan sebuah mimpi.
“Aku
tahu Ayah merasa bahwa sepertinya Ayah sudah menelantarkan kami. Tapi,
kami tahu bahwa Ayah sudah mencoba yang terbaik. Kami tahu bahwa Ibu
saja yang sulit menerimanya.”
“Kami
mencintai Ayah. Waktu yang pernah kita lewati bersama sangat berharga.”
Erna menambahkan ketika dia tetap membelai dadaku, kemudian dia dengan
lembutnya mencium leherku. Nafasnya yang halus menggetarkan tubuhku.
“Sebenarnya, kami sangat menginginkan Ayah,” kata Endang saat dia telah dengan sepenuhnya merapat.
“Ini adalah khayalanku,” katanya sebelum dengan singkat mencicipi bibirku.
Tanganku
bergerak ke bawah gaun pengantinnya, meluncur di atas kedua pahanya.
Dagingnya yang halus tidak mengenakan stocking. Saat tangan kiriku
mencapai kelembabannya, rambut kemaluannya, aku tahu dia ingin
disetubuhi. Penisku semakin keras saat lidah bernafsu Endang menjadi
lebih agresif dan mengatakan padaku bahwa penis Ayahnya inilah yang dia
inginkan di dalam vaginanya.
“Katakan pada Ayah betapa kamu sangat menginginkan dia, Endang.”
Erna
sudah pindah dari belakangku ke belakang Endang. Saat aku sedang
mengelus paha Endang dengan satu tangan dan menggoda bibir vaginanya
dengan jari dari tangan yang lainnya, Erna sedang mengelus dada kakaknya
dan mencium lehernya dan memegangi telinganya. Kemudian aku merasa
tangan Erna bergabung dengan tanganku dalam merasakan vagina kakaknya
yang basah.
“Ohh,
ya, Ayah,” erang Endang lirih. Celana dalamku terlepas dan putriku
mendapatkan penisku di dalam genggaman tangannya. Dia menyeka beberapa
precum dengan jarinya dan menghisapnya ke dalam mulutnya sebelum
menarikku kembali dalam sebuah ciuman.
“Aku ingin Ayah menyetubuhiku, Ayah. Setubuhi gadis kecilmu yang nakal ini.”
Vagina
Endang yang panas adalah hal terbaik yang pernah dirasakan jariku, dan
saat dia menjauh, mereka dibuatnya sedih. Tetapi dia lalu duduk di atas
sofa, lutut ditekuk dan kaki mengangkang terbuka, seperti yang dilakukan
Erna sebelumnya. Dia menyingkap gaunnya hingga dapat kulihat gundukan
dagingnya yang menggairahkan di bawah gaun pengantinnya. Erna
memanfaatkan kesempatan yang ditinggalkan kakaknya untuk berlutut dan
mengambil penis kerasku ke dalam mulut mudanya. Aku membungkukkan
kepalaku dan membelai rambutnya saat dia menghisap batang tebalku.
Melalui mataku yang hampir terpejam, aku bisa melihat Endang yang
memainkan kelentitnya, menjilat sari buahnya.
Endang
tidak bisa membendungnya lagi, dan tak pasti berapa lama hisapan
adiknya yang sempurna ini sanggup kuhadapi, sebab dia perintahkan padaku
agar datang padanya.
“Kemarilah dan setubuhi aku, Ayah. Aku ingin penis besar Ayah di dalam vagina panasku sekarang. Aku ingin kita keluar bersama.”
Erna
mendengar rintihan kakaknya dan melepaskanku dari genggamannya,
mendekat ke Endang. Kedua putriku mulai saling mencium, Erna memberi
kakak kandungnya sebuah rasa dari apa yang akan segera dialami
vaginanya. Aku bergerak di antara paha Endang, meluncurkan tanganku pada
daging yang paling berharga yang kutahu, putriku.
“Ohh,
Sayang. Kamu sangat indah. Ayah tidak bisa mencegahnya. Penisku terasa
sakit karena kamu.” Aku mengagumi kecantikan dan keindahannya dan
mendekatkan wajahku pada vagina basahnya. Sari buahnya sangat merangsang
dan lidahku melingkari bibirnya, mengambil cintanya di dalamnya.
“Ohh,
Ayah,” desahnya saat aku menyisipkan lidahku sedalam-dalamnya, kemudian
menarik keluar dan mencicipi daging yang melingkupi kelentitnya.
“Aku sangat ingin Ayah menyetubuhiku.”
Penisku
tidak bisa kutahan lagi. Aku harus merasakan kehangatan putriku pada
penisku. Aku bangkit dengan perasaan yang sangat bersemangat mendapatkan
seorang wanita muda yang dengan sepenuhnya mengharapkanmu dalam
hidupnya dan melihat Erna yang sedang menghisap puting susu kakaknya.
Kupegang penisku mengarah ke daging basah Endang yang membuka, merasakan
darahku terpompa di bawah jariku. Pelan-pelan kuselipkan dalam sebuah
dorongan pendek, kehangatannya terasa berlimpah saat aku
mempertimbangkan konsekwensi tindakan terlarang ini. Aku menginginkan
wanita muda ini, putri kandungku sendiri.
Endang melingkarkan kakinya di punggungku, seolah-olah merasakan keraguanku, dan menarikku dengan penuh ke dalamnya.
“Kumohon,
setubuhi aku. Ohh Tuhan, penis besar Ayah terasa hebat. Keluarlah di
dalamku, Ayah. Aku ingin merasakan sperma Ayah menetes ke kakiku saat
aku katakan janjiku di depan pendeta.”
“Ohh,
sayang. Vaginamu sangat panas dan ketat di penis besar Ayah. Ini adalah
vagina terbaik yang pernah kurasakan. Ayah ingin menyetubuhi kedua
putriku melebihi apa pun di dunia ini.” aku memompanya dengan penuh
cinta, tetapi perasaan ini tumbuh terlalu liar untuk dikendalikan.
“Katakan kamu ingin Ayahmu bagaimana, Sayang.”
“Ohh Tuhan. Aku keluar Ayah. Keluarlah bersamaku.” pinggulnya menusukkan vaginanya lebih ke dalam penisku.
“Setubuhi putrimu lebih keras,” Erna memerintahkan.
Aku memandang dari nafsu kusamku untuk melihat kedua anak gadisku saling melilitkan lidahnya dalam mulut mereka satu sama lain.
“Vaginamu sangat nikmat di penis kerasku, sayang. Ayah akan keluar. Aku mencintaimu sayang.”
Lalu,
kedua tubuh kami meledak dalam sebuah orgasme yang tak terkendalikan.
Gelombang demi gelombang spermaku kupompa ke dalam putriku, vaginanya
memijat keluar tiap-tiap tetesan akhir, kakinya menekan pantatku merapat
kepadanya. Kemudian penisku mengecil di dalam vagina Endang, dan aku
memberinya sebuah ciuman penuh kasih.
“Aku mencintaimu, Endang. Akan kulakukan apa pun untukmu. Untuk kalian berdua.”
“Itu
bagus,” kata Erna saat dia melangkah keluar dari pakaian pengiring
pengantinnya, bra hitamnya dan sepatu bertumit tinggi yang dia kenakan,
sangat cocok padanya.
“Sebab
aku mulai cemburu melihat penis besar Ayah di dalam vagina Kakak.” dia
menggantikan posisiku di antara kaki kakaknya ketika aku bergeser ke
samping.
Putri-putriku
yang nakal mulai saling berciuman dan aku memindahkan meja menjauh agar
aku dapat berdiri di belakang Erna. Endang melepaskan bra adiknya yang
memberi efek langsung pada penisku yang mengeras, tetapi itu masih belum
sepenuhnya siap benar. Tanganku mengelus pinggul Erna ketika aku
menggosokkan penisku pada pantat dan sela pahanya. Aku merasa dia akan
bangkit, maka kuberi ruang padanya saat aku menyadari bahwa dia sedang
turun pada kakaknya.
Mata
Endang terpejam, tapi aku bisa melihat kesenangan yang murni pada
wajahnya ketika adiknya mencicipi campuran dari orgasme adik dan
ayahnya. Erna telah siap untuk disetubuhi. Dia membentangkan kakinya
terpisah dan dengan sepatunya yang bertumit tinggi dan kepalanya turun
pada kakaknya, pantatnya bergoyang dengan sempurna. Aku harus
mencicipinya dulu. Maka aku turun ke atas lantai di antara kakinya, dan
mengangkat kepalaku ke atas, mulai menjilati vagina basahnya. Dia
membantuku dengan satu jarinya yang menggosok kelentitnya ketika aku
menjilat ke dalam bibir vaginanya.
Rintihannya
mengirimku ke garis tepi itu. Kami semua tidak mampu membendungnya
lagi. Aku bangkit di belakangnya dengan tanganku memegangi pinggulnya,
masih mengayun dan kakinya lebih jauh terpentang, lidahnya masih memberi
kenikmatan pada kakaknya lebih lagi. Aku menatap pahanya, ditopang oleh
tumitnya, dan teringat dia saat berjalan di sepanjang aula itu. Dengan
memejamkan mata, aku menarik kami bersama, penis gemukku menekan jauh ke
dalam vaginanya yang hangat dan basah.
“Ohh, Erna.” aku mengerang dalam masing-masing ayunanku yang lembut.
“Sayang, kamu sangat seksi.” tanganku meremas pantat dan pinggulnya yang bergerak seiring ayunanku.
“Melihatmu mengoral kakakmu membuat Ayah akan keluar lagi.”
“Ayah, penis besar Ayah terasa sangat nikmat bergerak keluar masuk. Pelanlah agar kita dapat keluar bersama.”
Aku
memenuhi harapannya. Bergerak dengan penuh rasa nikmat dalam gerakan
lambat saat aku ingin menusuknya yang terakhir kalinya dengan dalam, aku
menahan diriku. Bola zakarku mengencang untuk pelepasan, penisku tumbuh
lebih gemuk, aku harus melepaskan tali orgasme ini. Pemandangan dari
kedua putriku bersama dengan Ayah mereka, perasaan keduanya yang
membungkusku, mencintaiku, membuatku berakhir, tak bisa lagi
kukendalikan. Perutku mulai mengencang.
“Sayang, Ayah keluar.” aku merasa spermaku bergerak dari dalam tubuhku bersiap untuk meledak dengan tiap tusukannya.
“Keluarlah
di dalamku, Ayah. Campurkan dengan milikku.” Aku sudah menunggu terlalu
lama. Kontraksi putriku di sekitar batangku meledakkan sperma dari
penisku.
“Brengsek,” aku mengumpat dalam hati saat aku tetap memompa anak gadisku, mataku terpejam tak menghiraukan dunia ini.
Sebelum
sperma terakhirku habis, aku merasa seseorang memegang lengan tanganku.
Itu adalah Endang. Dia berlutut menuju ke pantat adiknya dan menarikku
ke luar. Erna berpaling dengan kelelahan yang terlukis pada wajahnya dan
tersenyum saat kakaknya berkata..
“Aku ingin mencium suamiku dengan rasa dari dua orang yang paling kucintai di dalam mulutku. Adik dan Ayahku tersayang.”
Lalu aku menutup mataku dan merasakan mulut indah lembutnya, memeras sperma terakhir keluar dari tubuhku.
0 Komentar untuk "Cerita Dewasa Terbaru 2013 Pernikahan Putriku Tercinta"